Friday, June 27, 2014

Looking Back

Looking Back

mungkin ini menjadi cerita terakhir yang bisa aku tulis disini, entah perubahan apa yang akan aku alami kelak, yang pasti tak akan sama dengan yang sekarang bahkan menjadi lebih buruk dan lebih buruk lagi kondisi yang akan aku alami, dan untuk mengenang kawan lama yang entah dimana sekarang


looking back
Pagi ini gerimis terus berjatuhan, ayam-ayam hanya berkokok dari dalam kandangnya, suasana tampak hening tak seperti biasanya, tak ada aktifitas yang berarti hanya beberapa kendaraan yang beerlalu meninggalkan jejak dijalanan, di pasar pun juga masih tampak sepi, hanya beberapa pedagang yang mulai membuka lapaknya, "ah, matahari mengapa engkau sembunyikan senyummu dibalik awan putih yang menggantung menutupi semua pandangan" pikirku sambil terus mengayuh sepedaku, memang sedikit basah seragamku tapi tak apalah, sampai disekolah aku bergegas ke kamar mandi sekedar membersihkan baju dan sepatu, mengelap dengan handuk yang ku bawa dari rumah berharap bisa mengeringkan bajuku.
hari ini hari yang berat bagi kami, para siswa kelas 3 SMP yang sebentar lagi akan ujian akhir, jadwal pelajaran kami semakin dipadatkan, memfokuskan pada materi yang akan digunakan untuk ujian akhir, kami para siswa hanya bisa mematuhi aturan sekolah walau kami sudah sangat jenuh, bayangkan yang kami alami selama beberapa bulan terakhir ini, jam pelajaran kami ditambah masuk pagi pulang sore, setiap hari seperti itu, setiap hari membahas pelajaran itu, betapa jenuhnya kami, namun apa daya kami mau mengeluh kepada siapa? orang tua kamilah yang menyetujui program itu, bagaikan tawanan militer kami terus dipaksa bekerja keras, dan mengulang semuanya setiap hari, maka tak heran jika banyak yang diam-diam membolos di kantin, atau di taman sekedar melepas jenuh.
siang ini udara terasa lembab, membuatku lelah berkonsentrasi, aku memutuskan ke kantin sekedar membeli minuman, ternyata di sana sudah ada 2 temanku yang sedang duduk dengan santainya padahal sebentar lagi kelas akan dimulai, ini sudah hampir jam 2 siang,
"bu es teh di plastik?" kataku pada penjaga kantin "kalian gak masuk kelas?" tanyaku pada mereka "males ah Na, bolos aja yuk" jawab Rendra "mending disini aja Na, udah jenuh nih kepalaku" tambah Dewa "nanti kalau dimarahi guru?" tanyaku lagi "Kina kalau dimarahi ya pasrah saja" jawab mereka dengan kompak sambil tertawa, akhirnya aku putuskan ikut mereka, aku juga merasa jenuh dan bosan dengan pelajaran yang satu ini, ya nama Kina, kedua temanku ini Rendra dan Dewa memang anak yang agak aneh suka bikin tingkah yang aneh-aneh sering kali membuat para guru jengkel dengan mereka, tapi mereka orangnya periang dan memang kalau tak ada mereka tak ramai.
sudah hampir sepuluh menit setelah bel berbunyi, tak ada tanda-tanda guru yang berpatroli, dan kami telah larut dalam canda, bahkan ibu kantin juga ikut dalam obrolan kami, tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara batuk di belakang kami, saat itu juga kami menoleh ke belakang, "ya tuhan ampuni dosa kami" batinku, kami hanya bisa tertegun sejenak dan melemparkan senyum manis kami, "enak ya minum es disini sambil bercanda, sedang teman-teman kalian serius belajar untuk ujian nanti" kata bapak Karyanto, wakil kepala sekolah, "enak pak, mau gabung pak?" hmm, si Dewa kumat nih "Ssstt, dewa kamu ini ngomong apa sih, maaf pak kami hanya ingin istirahat sebentar karena kami sudah jenuh belajar terus dari pagi" tumben si Rendra omongannya bener "ah sudah-sudah, kalian ini anak bandel, ayo ikut keruangan saya, cepat, jangan lupa dibayar dulu" "iya pak" jawab kami dengan kompak.
di ruangan wakasek, kami disidang bergilir, aku dapat giliran yang terakhir, Rendra dan Dewa walau sudah dimarahi habis-habisan masih saja tetap cengar-cengir pasang wajah tanpa dosa saat keluar melewatiku, saat giliranku tanpa sempat berkata apa-apa beliau sudah menceramahiku panjang lebar, dan lebih lama dibanding mereka berdua, bahkan sampai menyakut keluaga segala, ternyata pak Karyanto ini teman ayahku dan dia membandingkan aku dengan ayahku, sakit rasanya "memangnya aku ini kloningan dari ayahku, apa-apa harus sama dengan ayahku" pikirku, katanya ayahku yang bisa ini lah bisa itu lah, rajin, tertib, disegani orang-oranglah, pinter lah, juara kelas lah, seering menang lomba lah, aku sudah muak dengna semua itu, mengapa semua orang berpikiran seperti itu terutama yang sudah mengenal ayahku, apa aku harus seperti ayahku, apa mereka tau apa yang saja yang telah diajarkan ayahku? apa mereka tau bagaimana kehidupanku?
saat kembali kekelas aku berpikir, apa seorang anak harus selalu menuruti ambisi orangtua, apa seorang anak harus selalu menjadi seperti apa yang diinginkan orangtuanya, kalau seperti itu apakah anak itu tidak boleh memiliki impiannya sendiri, aku bahkan tak ingat apa yang telah diajarkan orangtuaku, selama ini aku selalu merasa sendirian, apa mereka tau aku selalu sendirian, apakah mereka tau rasanya, setelah itu aku hanya melamun di dalam kelas, entah apa yang dijelaskan guruku.
sepulang sekolah aku melepas penat dengan bermain basket dengan beberapa temanku di taman kota, entah kenapa hari itu terasa ramai sekali, namun aku masih saja kepikiran soal ayahku dan aku, mengapa semua orang selalu saja membandingkanku dengannya, tiba-tiba datang beberapa orang yang ingin bermain bersama, entah apa maksud mereka, ya kami layani saja, ternyata tim mereka lebih jago bermain basket, kami kewalahan, walaupun skornya tidak beda jauh, tapi stamina kami terlihat sangat jauh berbeda, dan salah satu dari mereka berkata "gimana Na, kok beda jauh sama mbah Wal?" Walubi itu nama ayahku "oh ini anaknya pak Walubi, gak ada apa-apanya dibanding ayahnya" kata temannya yang lain, aku hanya diam dan mengajak temanku pulang, entah apa lagi yang diucapkan mereka, yang jelas aku tak mau mendengarnya, selama perjalanan pulang aku hanya merenung, aku memang tak ada apa-apanya dibanding ayahku aku tau itu, aku sebenarnya tak menyukai basket, hanya saja sulu dipaksa ayahku latihan basket dan tak boleh latihan yang lainnya, aku hanya pemenuh ambisi orang tua saja, dan orang tuaku tak peernah mengajariku apa-apa, sekali lagi aku hanya sendirian, aku hanya sedirian, dan kata-kata itu yang selalu membuatku mundur, aku tak sehebat ayahku, aku tak ada apa-apanya dibanding ayahku, aku tak bisa apa-apa kalau tak ada ayahku, tau kah kalian aku selalu sendirian, mereka terlalu sibuk sampai tak mengerti masalahku, aku selalu dibawah bayang-bayang nama ayahku, ingin rasanya aku pergi ketempat dimana tak ada yang mengenal ayahku, agar bisa belajar sesuatu dengan nyaman dan tenang, saat gagal dapat bangkit tanpa dikata-katain dibanding-bandingin seperti itu. aku hanya ingin mengejar impianku.

No comments:

Post a Comment